Tengah Bahagia

Teruntuk dirimu, yg sekarang akan, atau hampir, dan atau mungkin sudah mantap untuk menemuiku, ku katakan padamu sedikit saja. Aku adalah seorang wanita yg tengah berbahagia.
Aku menunggumu dengan sangat baik selama ini. Selepas aku menanggalkan hitam itu bertahun lalu, aku mulai belajar banyak hal untukmu. Sebisaku, aku ingin menjadi psikolog terbaik untuk seumur hidupmu. Mengais banyak ilmu, dari titik hingga tepi. Sebisaku, menjamin kehidupan ternyaman nan bahagia bersamaku hingga tua dan maut menjemput. Jangan khawatir ya, akupun sedang dalam tahap mematangkan diri. Walau, ilmuku baru sebatas teori, tapi aku berjanji, jika kelak takkan sebatas teori lagi. Kau tak berkeberatan, kan?
Rasanya aku tak sabar. Dapat segera menemuimu. Menjumpaimu yg mungkin selama ini belum pernah ku jumpai atau bahkan sering ku jumpai. Kau tau, jika semesta nyatanya memang senang bergurau, kan? Lantas menyaksikan eloknya rupa dan lakumu, yg mungkin sedikit pendiam, atau mungkin tegas, atau bahkan sama gilanya sepertiku? Melihatmu larut dalam satu kegemaran kita yg sama, atau kita yg belajar untuk larut dalam kegemaran kita yg berbeda. Emm, maksudku, apakah kau menyukai pantai dan deru ombaknya, sama sepertiku? Juga menyukai gemerlap indahnya lampu-lampu dalam gelapnya malam? Dan apakah kau berasal dari suku yg sama denganku, yg akan mengajariku banyak totokromo atau anggah-ungguh yg belum aku tau, atau bahkan, mungkin kau berasal dari suku lain, yg akan mengajariku keanekaragaman budayamu? Lalu bagaimana tentang keluargamu, apakah sama seperti keluargaku yg begitu gaduh dengan candaan disetiap pertemuannya? Ah, aku tak sabar, melihat wajahmu memerah yg terkena guyonan keluargaku esok. Siapapun dirimu, yg ku tau pasti hanya; jika dirimu adalah yg terbaik kelak.

Percayalah, jika aku adalah seorang wanita yg tengah berbahagia. Dan esok, kitalah yg akan berbahagia, bersama.

Bandung,
Ay.

Besok Sore

Langit oranye begitu riang, ku tanya padanya apa yg membuatnya riang. Langit oranye itu menjawab awan. Tak selang lama, awan berubah menjadi hitam. Suara petir menggema dan air hujan membasahi bumi. Ku tanya padanya, mengapa bumi masih nampak riang walau harus terguyur air hujan milik awan hitam itu. "lihat, dan perhatikanlah", jawab bumi singkat.

Aku tak mengerti. Aku bukan manusia ahli menerka. Dan rupanya aku tak sepandai yg bumi kira. Kusimpan tanya dalam waktu yg lama. Menerka lantas mencoba memahami. Tapi bukan itu jawabannya. Namun seorang lelaki datang. Menyapa, lantas mewarnai hari. Mengajari apa yg tak kutau. Hingga suatu waktu ia pergi tanpa sebuah kata perpisahan. Lagi lagi aku dibuat tak mengerti. Semesta begitu senang bercanda denganku. Tak ubahnya dengan takdir yg serumpun dengan semesta. Pandai bercanda.
Pekat itu tak kunjung menepi. Aku hampir saja kehilangan jalanku. Tak ada lagi langit oranye yg dapat ku jumpai. Bagiku, setiap hari langit nampak kelabu. Aku dirundung duka mendalam.

Sudah lebih dari 24 purnama. Hujan datang berbeda sore ini. Secangkir coklat panas tanpa gula kesukaanku. Ku tatap seorang wanita dihadapanku. Tak sedang tersenyum. Matanya bulat dengan riasan eyeliner. Gaun putih semampai hingga lantai. Memakali sweater tebal berwarna biru muda. Cat kuku biru muda terpasang pada jemarinya. Tatapannya tajam menyorotiku yg sedang membawa coklat panas. Aku yakin jika dirinya datang bukan karna ingin coklat panas yg ku genggam.

Ia mengisahkan perjuangannya. Yg mati terbunuh duka. Ia ingin aku untuk mengenangnya.

Wanita dihadapanku itu adalah aku, dimasa laluku. Aku menanggalkan dirinya untuk diam disudut ruangan. Aku memintanya untuk beranjak. Hingga aku sampai disini. Dengan langit oranyeku kembali.

Bumi benar.
Ada hal hal yg memang harus larut lalu hanyut bersama derasnya hujan. Putihnya awan tak pernah menjamin untuk tak pekat kemudian. Ada hal hal yg memang tak bisa ku pahami dalam tempo sekejap. Aku belajar. Ternyata menerka dan memahami saja tak cukup. Duka menang. Dan aku juga menang. Akan aku yg telah kuasa memintanya untuk diam disudut ruangan itu, selamanya.

Bandung,
Ay.

Seribu Harap

Indonesia tidak akan terang dikarenakan obor besar yg menyala di Jakarta, melainkan karena lilin kecil yg menyala disetiap daerah. (Bung Hatta)

Saya begitu terkesan dengan kalimat beliau. Maka dari pendapat beliau, dapat saya simpulkan jika peradaban yg baik bukan berasal dari pusat kota, melainkan dari pendidikan dari setiap penjuru daerah yg merata. Terlebih pada pendidikan anak atau sekolah dasar, yg dinilai lebih krusial dari jenjang jenjang diatasnya. Penanaman nilai serta moral pada usia ini, juga dikatakan jauh lebih efektif karena pemikiran anak anak yg masih dapat dipahat dengan banyak kebaikan. Banyak orang menggagas pentingnya pendidikan untuk anak, namun tak sejalan dengan gagasan briliant itu, alih alih gagasan tersebut tak lebih hanya menjadi angan dan harapan, atau bahkan lebih mengesankannya lagi, gagasan tersebut hanya menjadi sebuah pemanis di janji janji kampanye calon penguasa negri ini.

Namun apa jadinya jika pendidikan dasar masih menemui banyak kendala seperti diatas? Terlebih pada daerah pelosok? 

Berangkat dari hal ini, saya mengemas sebuah perjalanan kecil, disebuah kampung yg terisolir dari peradaban dan kemewahan dunia, yg tak lain di tanah air tercinta, Indonesia.


Secuplik perjalanan mereka. Yg tak sengaja di abadikan oleh salah satu partner kerja, yaitu Sabumi Volunteer. Sebuah komunitas sosial yg sangat peduli daerah tinggalnya, yg katanya sudah tak tertinggal, namun pada nyatanya sangat tertinggal. Foto ini juga merupakan sebuah bukti dari mereka yg gigih berjalan sekitar ±2 jam, menelusuri hutan rimba di pagi buta. Hanya demi sebuah pendidikan. Mereka tak peduli dengan bahayanya medan perjalanan mereka. Semua ketakutan yg saya rasakan, tak pernah nampak di bola mata anak anak ini. Seakan menantang mentari, mereka berjalan menyusuri hutan rimba sedari petang, dengan harap jika takdir akan lebih bersahabat esok hari.

"Sudah biasa", cetus salah satu anak anak yg turut menuntun saya berjalan yg sudah sedikit terengah karena lelah. Tak henti bernyanyi di samping saya dengan peluh yg hampir menetes, anak anak selalu menawari saya untuk beristirahat ditengah hutan. Saya malu. Sangat malu. Merasa sangat lemah. Dari hal ini, saya kembali belajar makna kuat. Menjadi kuat tak pernah bisa mudah. Harus ada sesuatu yg saya kalahkan. Ego saya yg melemahkan, misal..

Sebuah kampung, dengan anak anak yg masih begitu polos, warga yg begitu bersahabat, budaya dan tradisi yg masih sangat kental, serta keramahan khas mereka, seakan menghipnotis saya untuk terus merindu. Mengundang langkah saya untuk terus kembali kemari. Sebuah kampung yg dimana sinyal saja, tak akan bisa menjangkaunya. Sebuah kampung yg jika mandi dan keperluan pribadi saja, harus menuju sungai besar, sungai seribu umat. Sebuah kampung yg jika kami datang, selalu disambut dengan hangat oleh senyum warganya. Sebuah kampung yg akan membuat saya sangat kerepotan dengan jauhnya akses kebutuhan sehari hari. Sebuah kampung yg letaknya perlu tenaga dan nyawa lebih banyak dari biasanya, agar saya bisa menjangkau kampung ini. Sebuah kampung, yg mampu membuat agen agen bus tak sanggup untuk mengantarkan rombongan saya untuk kemari. Tak kurang 9 jam perjalanan yg terjal, curam, dan melelahkan, dari Bandung hingga Kampung Cikawung, Kecamatan Rambay, Kabupaten Sukabumi. Dengan segala kenikmatannya, saya tak pernah kapok dari kampung ini.


Masih selaras dengan perkataan Bung Hatta, kami yakin, kampung ini berhak mendapat predikat layak. Dan, berawal dari semua kesulitan itu, tekad kami menjadi semakin kuat. Perlahan namun pasti, kami yakin, jika usaha kami akan selalu dipermudah olehNya. Sebuah Sekolah Dasar, dengan jumlah total 61 siswa, selalu menanti kami untuk kembali. Sebuah sekolah dengan pendidikan yg jauh dari kata mewah seperti kebanyakan. Dengan penuh dan banyak keterbatasan disekolah ini, namun saya rasa, keterbatasan tersebut adalah sebuah kekuatan. Kekuatan yg tak pernah saya jumpai disekolah manapun, sebuah tekad dari 6 guru yg serba bisa, bendera merah putih yg berkibarnya menjadi saksi jika sekolah ini adalah milik Indonesia, beberapa ruangan yg katanya tempat menebar ilmu namun tak ada bangku yg cukup untuk siswanya, pun, pada sepasang sandal jepit yg siswa kenakan dimusim hujan memperjelas tekad mereka untuk merdeka. Saya, dan kami, sedang dan selalu berusaha untuk memantikkan api untuk lilin lilin kecil peradaban. Dan, Qodarullah, jika Allah memang selalu mempermudah jalan saya, jalan kami, untuk selalu mengiringi laju perkembangan kampung ini. Sebuah kampung, yg saya yakin, kebanyakan mahasiswa enggan untuk menyambanginya. 

Terimakasih, kepada seluruh bagian yg turut mengiringi langkah saya yg begitu terjal, begitu alot, dan terkadang begitu sulit dilalui, tapi tetap dan begitu setia menemani hingga saya usai


❤❤❤

@upiea


Search This Blog

Pinterest Gallery

featured Slider

Instagram Shots

Tweet Tweet

Like us

Sponsor